Kamis, 25 November 2010

Mendoan Makanan khas Banyumas

KAFE sering diidentikkan sebagai tempat hiburan yang berkaitan dengan pola rekreasi yang mewakili gaya hidup masyarakat urban. Kini, di sebagian jalan-jalan pusat kota dan juga dekat area kampus di Purwokerto menjamur kafe.

Tawaran berbagai fasilitas —dari pertunjukkan bola, balap mobil atau motor, hotspot, musik akustik dan sebagainya— juga beragam menu makanan dan minuman berkedudukan penting dalam usaha mendekati, memanjakan dan menimbulkan rasa betah pengunjungnya.

Menariknya, di Purwokerto seakan ada kesepakatan di antara semaraknya tempat hiburan semacam kafe itu: semua menyajikan mendoan, makanan khas Banyumas, di daftar menu sajiannya. Kesamaan itu sebenarnya cukup untuk menunjukkan bahwa ruang-ruang populer mempunyai kemungkinan menyentuh produk lokal, bahkan memadukan keduanya.

Misalnya Joglo Cafe, di dekat kampus Universitas Jenderal Soedirman menyajikan inovasi sajian kuliner yang memadukan dua produk makanan dari dua geografi kultural yang berbeda (timur dan barat), yaitu mendoan burger. Dalam upaya perpindahan simbol itu maka inovasi sajian mendoan burger itu dapat diasumsikan bahwa makanan atau jajanan khas tersebut mengalami upaya elitisasi.

Lalu, apakah kehadiran elitisasi semacam mendoan burger berarti negatif bagi budaya lokal? Sebenarnya tidak asal identitas mendoan sebagi produk budaya lokal tidak tenggelam oleh citra burger. Sebab kita tahu menjamurnya industrialisasi dan komersialisasi makanan siap saji, termasuk burger, didesain oleh produsennya lewat teknologi komunikasi sehingga seolah-olah memiliki muatan yang tak hanya berurusan dengan rasa lapar namun dapat mewakili status sosial seseorang.

Mengapa mendoan sebagai produk lokal tetap bisa bertahan di antara atribut-atribut kuliner kebudayaan pop? Mendoan dapat bertahan karena dalam perkembangan produksinya memiliki kelengkapan watak industri, yaitu massal, praktis, dan mudah untuk mendapatkan pembeli dalam jumlah besar.

Tak dapat dimungkiri, mendoan diproduksi secara massal. Tiap pagi puluhan bakul jajan gendongan menjajakannya. Berganti sore sampai dini hari mendoan dapat dikonsumsi di angkringan-angkringan sampai kafe-kafe. Realitas ini, menandakan bahwa mendoan telah mengalami masifikasi dan membuktikan tidak hanya dikonsumsi oleh golongan masyarakat status sosial tertentu.

Nilai praktis mendoan, dapat dilihat dari tidak dibutuhkannya keterampilan khusus untuk memasak. Sebab produsen dalam perkembangannya sudah mengikutsertakan bumbu yang dibutuhkan dalam takaran porsi tertentu yang disatukan dalam satu kemasan siap saji.

Dua hal itu yang kemudian ditunjang dengan harga yang terjangkau membuat makanan itu relatif mudah dikonsumsi oleh berbagai tingkat sosial-ekonomis dan berpotensi mendapatkan pembeli dalam jumlah besar.
Perbanyak Distribusi Lewat tiga watak industri itu, masyarakat Banyumas terdesain untuk menjadi akrab dengan mendoan, sebab jajanan itu senantiasa ada di antara geografi dan kultural mereka untuk menyuguhkan realitas produk khas. Di bagian inilah setidaknya dapat diambil pemahaman, bahwa salah satu jalan yang baik untuk melindungi produk budaya lokal dapat ditempuh dengan cara memperbanyak produksi dan distribusi.

Adapun persoalan inovasi yang melibatkan pengadopsian unsur budaya lain, semisal mendoan burger menunjukkan bahwa dalam perkembangannya, mendoan ternyata tak semata-mata fenemona kekhasan tradisi kuliner lokal, tetapi juga salah satu bagian dari fenemona arus komunikasi budaya yang makin meluas.

Relasi komunikasi lintas budaya di wilayah kuliner itu menunjukkan bahwa mendoan memiliki realitas ganda. Di satu sisi masifikasinya telah berhasil menciptakan internalisasi khas sebagai bagian budaya Banyumas yang tak mudah tercerabut.

Pada sisi yang lain, elitisasi mendoan dalam rupa mendoan burger —yang hadir karena kuatnya pengaruh pencitraan yang berasal dari luar tradisi lokal— menunjukkan bahwa pencitraan dari luar mempunyai dampak luas. Hal yang tak dapat dimungkiri, pencitraan itu telah membuat hal-hal di sekitar kita banyak berubah.


* suaramerdeka
Lihat juga : table8, sushi tei

Tidak ada komentar:

Posting Komentar